January 23, 2014

Surat untuk Stiletto Book

Dear Stiletto Book,

Hi all crew Stiletto (http://stilettobook.com). Selamat ulang tahun yang ketiga, ya. Wah, saya sangat senang ketika membaca twitter @Stiletto_Book mengadakan lomba menulis dengan tema, “Surat untuk Stiletto Book.” Saya nyaris jingkrak-jingkrak lho, *edisi lebay :D Bagi saya, ikut lomba ini seperti ungkapan pribahasa “Sambil Menyelam Minum Air.” Selain bisa ikut lomba ini, juga bisa menambah postingan di blog pribadi. Lumayan kalau menang hadiahnya berupa paket buku :p. Bagi penggemar Stiletto seperti saya, tentunya lomba ini akan sayang sekali jika terlewatkan.

Mengenal Stiletto berawal dari browsing mencari penerbit untuk mengirim naskah pada awal 2013 (Padahal saat itu naskahnya belum selesai ditulis, hehe). Penasaran, saya yang memang selalu ingin tahu, berhasil mengobrak-abrik websitenya Stiletto dalam sekejab. Tak lupa saya juga membaca syarat pengiriman naskah. 

Kesan pertama saya, Stiletto itu penerbit yang unik dan berbeda dari penerbit yang lainnya. Kenapa? Karena Stiletto mendedikasikan diri menerbitkan buku-buku fiksi maupun nonfiksi yang berkaitan dengan dunia perempuan. “Strong women wear their pain like stilettos, no matter how much it hurts, all you see is the beauty of it.” 

So, if you write about the world of women, send your manuscript to stiletto!

Kenapa saya memilih Stilleto? Yang pertama adalah karena lebih efektif dan efisien. langkah pertama yang harus saya lakukan adalah hanya mengirimkan softcopy 30 halaman pertama via email. Setahu saya belum ada penerbit yang memberlakukan standar yang seperti ini. Selain itu, buku terbitan Stiletto juga bisa ditemukan di toko buku di seluruh Indonesia. Jadi, saya sama sekali tidak ragu untuk mengirimkan naskah saya pada Stiletto. Semoga nanti naskah saya berjodoh denganmu, ya. Amin.

Alasan lain kenapa harus Stiletto? Saya sangat suka dengan design cover-nya. It’s a beautiful cover. Good job buat Designer Graphic Stiletto. Ditambah dengan harga buku yang terbilang murah bila dibandingkan dengan penerbit lain. Harga yang lebih murah dengan kualitas yang oke, why not? 

Buku Stiletto yang paling berkesan buat saya adalah A Cup Of Tea For Writer karyanya Triani Retno A & Herlina P Dewi, dkk. Buku ini recommended buat dibaca. Terutama bagi penulis pemula. Setelah membaca buku ini sukses membuat saya tidak bisa berhenti menulis hingga detik ini. Buku ini menjadi semangat buat saya untuk terus berkarya. This is my favorite book. Ditambah dengan cover yang cantik dan isi yang berkualitas. Saya layak memberikan dua jempol bagi penulis dan juga tim Stiletto karena sudah menerbitkan buku bagus seperti ini. 

Saran untuk Stiletto adalah sering-sering mengadakan kuis di media sosial, lomba menulis naskah fiksi/nonfiksi, dan berbagai event lainnya. Dengan melakukan berbagai kegiatan menarik, tentunya akan membuat nama Stiletto semakin dikenal kalangan penulis dan pencinta buku. Saya berharap Stiletto bisa mengadakan lomba kreatif yang berbeda dengan lomba biasanya. Dan semoga event yang diadakan tidak hanya di kota tertentu. Tapi menjangkau ke seluruh pelosok Tanah Air. Semoga :)

Saya percaya, Stiletto ke depannya pasti akan bertumbuh pesat. Dengan umur Stiletto yang baru menginjak 3 tahun dan terbilang masih baru sudah mempunyai hati tersendiri di hati para pembaca, terutama saya sendiri. Saya salut dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas kerja keras Stiletto selama ini. Untuk ke depannya, Stiletto harus berjuang lebih keras lagi sehingga bisa menjadi penerbit unggul di Indonesia. 

Sekian surat cinta dari saya untukmu. Wah, panjang juga nih. Kalau saja tidak dibatasi kurang lebih 600 kata, mungkin saya bisa menulis berlembar-lembar :p. Keep fighting Stiletto!

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis surat untuk Stiletto :)
Posted by: caecilia
CS.Com Updated at: January 23, 2014

January 13, 2014

Test Alergi

Siapa di sini yang punya bakat alergi? Ada? "TOS" kita senasib. Alergi saya ini mulai muncul sejak saya pindah ke Bogor, padahal dari lahir sampai saya lulus SMA masih fine-fine saja. Menurut dugaan saya adalah faktor perbedaan cuaca yang ekstrim dan juga faktor lingkungan yang membuat saya alergi seperti ini. Di kampung halaman saya itu panas dan tidak ada polusi. Setibanya di Bogor, tubuh saya kaget dengan perubahan suhu. Apalagi debu di daerah perkotaan itu cukup parah. Daya tahan tubuh orang yang punya bakat alergi memang rendah. Saya mulai mengganti sabun mandi saya dari yang sabun cair menjadi sabun batangan. Puji Tuhan alerginya hilang sendiri setelah saya mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Setelah 1 tahun di Bogor, tubuh saya mulai bertingkah lagi. Ketika saya berlibur ke kampung halaman, saya malah alergi dan makin parah. Saya yang sudah terbiasa dengan suhu adem di Bogor, kaget lagi setelah kembali ke kampung halaman yang panas. Tidak tahu harus bagaimana lagi, akhirnya saya pergi ke 2 dokter sekaligus dan Puji Tuhan membaik. 

Kemudian, saya pindah kerja di Tangerang tahun 2012. Tubuh saya yang memang super sensitif mulai bereaksi lagi. Tangerang itu panas dan karena tidak terbiasa, saya kumat lagi. Kali ini juga cukup parah hingga membuat saya tidak bisa tidur dan sangat mengganggu aktivitas saya sehari-hari. Akhirnya saya searching cari dokter kulit yang bagus. Setelah searching, saya mendapatkan satu nama yaitu Dr. Ko King spesialis kulit. Kebetulan, dokternya juga praktek di Klinik Kimia Farma Bogor.

Setelah pembicaraan singkat, dokter bilang gatal-gatal saya itu karena faktor lingkungan seperti yang sudah saya perkirakan. Biaya dokter di tahun 2012 masih 150 ribu. Dan obatnya 300 ribu. Setelah saya mengkonsumsi obatnya, saya merasakan perubahan yang luar biasa. Keesokan harinya bisa dibilang saya sudah merasa sembuh dan gatal-gatalnya sudah hilang. Dokternya sudah tua dan mungkin umurnya sudah 70 puluh lebih. Tapi beliau masih terlihat sehat bugar.  

Singkat cerita, alergi saya tidak pernah kambuh lagi semenjak itu. Saya hanya rutin membeli cream alerginya dengan resep yang sama dari dokternya. Jadi kalau saya merasa gatal saya olesi creamnya dan setelah itu sembuh. Sebenarnya saya itu tidak pernah merasa benar-benar sehat. Cream anti alergi saya itu seperti makanan yang wajib saya miliki setiap saat. Dan wajib dibawa ke manapun saya pergi.

Baru-baru ini saya pindah kostan karena saya pindah kerja ke BSD City. Tidak perlu kalian tanya, alergi saya kumat lagi dan parah lagi. Dan saya trauma pindah kostan lagi. Singkat cerita saya sudah ke century, kimia farma BSD, dan Rumah Sakit BMC dan hasilnya nihil. Tidak efek apa-apa. Dokternya hanya bisa mendengarkan saya curhat.

Akhirnya, saya kembali searching lagi dokter kulit yang bagus selain dokter Ko. Saya mendapatkan satu nama lagi. Prof. DR. dr. Adhi Juanda, SpKK. Dokternya sudah tua juga dan adalah seorang guru besar di UI.

Tanpa pikir panjang lagi, saya langsung konsul ke dokter itu. Dokternya tidak terlalu sehat mungkin karena sudah tua dan dia menggunakan alat bantu dengar. Jadi kalau mau bicara sama dokternya harus teriak-teriak. Tapi untungnya ada asistennya yang membantu menerjemahkan pembicaraan.

Dokternya nanya, “Kamu stres, ya?”

Setiap kali berobat semua dokter selalu bertanya seperti itu T.T.

“Iya. Saya stres, dok. Saya stres karena alergi saya enggak sembuh-sembuh dari dulu.” 

Dokternya mengangguk-nganguk tanda mengerti. Lalu dia memberi resep obat sebanyak dua macam. Satu botol cream dan kapsul obat selama 5 hari. Hanya 177 ribu. Biaya dokter 200 ribu. Murah. Dan saya diberikan surat pengantar untuk melakukan test alergi seminggu kemudian di anaknya dr. Dani Djuanda, Sp. KK yang tidak jauh dari tempat praktek dr. Adhi.

Perubahan sehari setelah saya minum obatnya juga sudah terasa. Sekarang saya percaya, dokter yang sudah tua dan punya jam terbang lebih banyak pasti lebih menjamin. Tapi, kalaupun disuruh memilih, saya tetap memilih dr. Adhi.
Alergi itu katanya tidak akan sembuh tapi bisa dihindari. Bersyukurlah buat yang punya kulit normal karena kalian tidak akan pernah mengerti stresnya orang yang punya penyakit alergi. Berdasarkan penelitian para ahli yang saya baca di google, dari 1000 orang, hanya ada 2 orang yang terkena penyakit ini. Dan saya termasuk ke dalam 2 orang ini. Enjoy :)
Posted by: caecilia
CS.Com Updated at: January 13, 2014

January 10, 2014

Pembengkakan Kelenjar Thyroid

Tulisan ini sudah cukup lama saya publish di blog saya di wordpress yang sejujurnya tulisan itu sangat laris manis dikunjungi :) So, karena saya pikir tulisan ini akan sangat bermanfaat, saya akan tulis kembali atau bisa dikatakan copy paste dari blog saya sendiri.

Kelenjar thyroid adalah pembengkakan kelenjar yang berupa benjolan di depan leher, letaknya di antara lobus kanan dan kiri. Biasanya ditandai dengan ikut dalam proses menelan. Jadi, kalo kita menelan, benjolannya akan naik turun. Kelenjar ini menghasilkan hormon thyroid yang berfungsi mengendalikan kecepatan metabolisme (fungsi kimia) tubuh. Adanya benjolan bisa juga karena adanya kanker kelenjar getah bening yang ditandai dengan tidak ikut dalam proses menelan. Biasanya hanya terdapat pada lobus kanan saja atau kiri saja. Dan biasanya dicurigai sebagai kanker ganas. Ciri-cirinya yaitu terdapat pembengkakan atau adanya benjolan disekitar ketiak dan pangkal paha. Tapi tidak semua jenis benjolan adalah kanker ataupun kelenjar thyroid. Bisa saja hanya benjolan biasa yang timbul karena sedang sakit atau panas dalam dan bisa hilang dengan sendirinya. Nah, yang harus di waspadai adalah benjolan yang permanen dan tidak hilang sejak bertahun-tahun. Benjolan di leher bisa juga karena adanya tumor. Tergantung dengan jenis keluhannya.

Saya pernah bermasalah dengan Kelenjar Thyroid. Diagnosis dari dokter waktu itu saya terkena Hyperthyroid. Ceritanya berawal dari ketika saya masih duduk di bangku sekolah awal tahun 2007. Sebenarnya saya tidak pernah memperhatikan leher saya juga, jadi tidak pernah tahu kalau ada benjolan di leher saya.

Waktu itu saya sedang di Gereja menunggu mama jemput selesai misa. Terus ada teman yang lewat dan tiba-tiba berhenti dan berkata seperti ini, "Coba kamu nelen." Dengan heran saya pun mengikuti kemauan teman saya tersebut. Setelah memperhatikan leher saya sejenak, dia mengatakan kalau di leher saya ada benjolannya. Dia menambahkan kalau saya itu harus segera diperiksa. Katanya, anak perempuannya juga pernah ada benjolan di leher dan sudah dioperasi di Jakarta. Bagaikan petir disiang bolong, saya sontak langsung terkejut mendengar pengakuan teman saya tersebut yang serba dadakan. Saya yang beberapa detik yang lalu masih berpikir saya sehat-sehat saja, ternyata saya itu sudah cukup gawat dan harus di operasi? Ya Tuhan. Seumur hidup saya tidak pernah terpikirkan oleh saya kalau saya harus di operasi.

Setibanya di rumah saya langsung ambil cermin dan mulai meneliti leher saya. Setelah saya cermati, memang benar ada benjolan yang tak begitu kasat mata. Dan benjolan itu terlihat jelas ketika saya menelan. Saya langsung down dan pikiran saya mulai tidak karuan. Takut ini takut itu. Tapi ketakutan saya yang sebenarnya adalah harus memberitahu keluarga saya dan tentu saja keluarga saya shock terutama papa. Karena stres, saya sampai sakit. Nafsu makan hilang dan saya mulai demam. Apalagi seluruh anggota keluarga terlihat sedih mendengar kabar kalau ada benjolan di leher saya. Mungkin mereka menduga itu kanker dan saya pun awalnya sempat mengira demikian.

Saya dibawa ke dokter spesialis THT. Tapi dokternya sangat menjengkelkan dan berkata seperti ini. "Ini mah cuma kelenjar biasa yang bakal muncul kalo lagi haid. Anak sehat kok dibawa ke dokter." Dokter itu sama sekali tidak memeriksa saya. Dia hanya melihat sekilas dan pegang saya saja tidak.

Akhirnya pulanglah saya ke rumah. Mungkin mama papa sudah lega, tapi saya sama sekali tidak lega dan tidak puas dengan penjelasan dokternya. Karena saya tidak mau membuat mama papa khawatir, saya berusaha melupakan tentang benjolan ini walaupun sebenarnya benjolan itu tidak pernah hilang dan juga tidak ada keluhan apa-apa. 

Sampai akhir tahun 2009 (saya sudah setahun tinggal di Bogor), benjolan saya mulai bereaksi. Saya merasakan benjolan saya membengkak saat saya sedang kuliah dan sedang mendengarkan penjelasan dosen di kelas. Saya merasa ada sesuatu yang mengganjal. Waktu jam kuliah selesai, teman saya bilang, "Kok leher lu ada benjolan sih?" Saya langsung panik dan pinjam kaca. Ternyata benar. Benjolan saya 3 tahun yang lalu itu akhirnya membesar. Teman menyuruh saya check up dan keesokan harinya saya meluncur ke Rumah Sakit BMC (Bogor Medical Center) yang katanya RS paling bagus dan paling mahal di Bogor saat itu. Saya daftar ke dokter THT lagi dan masih bingung mau pergi ke dokter apa.

Dokternya bilang kalau benjolan saya itu Kelenjar Thyroid dan harus dioperasi secepatnya. Kaget, bingung, stres semuanya campur aduk jadi satu. Dan menurut saya dokter itu sangat tidak punya hati nurani dengan menakut-nakuti saya. "Enggak ada jalan lain selain operasi. Sebelum makin besar, sebaiknya dioperasi secepatnya." Saat itu juga saya dirujuk ke dokter bedah dan bodohnya saya nurut-nurut saja. Mungkin karena sedang linglung dan tidak bisa berpikir jernih.

Dokter bedahnya hanya menekan leher saja sebentar dan langsung bilang kalau saya harus dioperasi tanpa melakukan usg terlebih dahulu. Dan dia juga mengancam saya kalau saya tidak segera dioperasi, mata saya akan melotot dan mumpung tekanan darah saya masih normal. Kalau sudah melotot nanti matanya sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Begitulah kurang lebih ancaman dokternya. Tanpa meminta persetujuan saya terlebih dahulu, dokter itu langsung membuat berbagai surat laboratoriun untuk rontgen dan lain-lain dan dia minta saya untuk bertanya ke bagian administrasi mengenai biayanya. 

Karena operasi saya itu termasuk ke dalam operasi besar khusus, biayanya lebih wow. Untuk tahun 2009, biaya kelas 3 adalah 11 juta sudah termasuk obat dan rawat inap 5 hari. Kalau ada penambahan obat dan rawat inap akan tambah lagi biayanya. Waktu itu saya hanya sekedar mau tahu saja dan saya juga belum mengambil keputusan untuk dioperasi.

Nah, tibalah saatnya memberi tahu keluarga. Ya kali ini lebih shock pasti. Soalnya benjolan yang sudah terlupakan akhirnya menampakkan diri lagi. Papa yang paling shock apalagi kalau tahu saya harus dioperasi.

Papa mau saya di rontgen biar jelas itu benjolannya apa. Mungkin papa mengira itu kanker kali ya. Nah, buat menenangkan papa, saya rontgen berbekal surat rontgen dari dokter bedah tadi. Ternyata apa yang terjadi? Itu rontgennya buat jantung dong persiapan buat operasi. Itu dokternya geblek masa dia tidak menjelaskan kepada saya kalau itu rontgen jantung buat persiapan operasi. Padahal saya sama sekali belum setuju akan tindakan operasi. Saya protes di ruangan radiologi kenapa yang di rontgen itu jantung bukan leher. Katanya kalau saya mau rontgen di leher, saya harus minta surat pengantar lagi dari dokternya. Akhirnya saya pulang dan tidak jadi rontgen leher dan rontgen jantung saya pun tidak saya bayar karena buat apa bayar hasil rontgen yang saya tidak butuhkan. 

Seminggu kemudian saya mendapat rekomendasi dari teman seorang dokter internist. Di rumah sakit yang sama, namanya dr. Agus Taolin, Sp. D (Spesialis Penyakit Dalam).

Beberapa hari kemudian, saya pergi konsul sama dokternya. Dan akhirnya setelah pergi ke 3 dokter spesialis, baru dia yang melakukan USG di leher. Dia bilang ada cairan kista di leher dan harus disedot menggunakan jarum. Shock? IYA. Bayangkan saja jarum suntik yang ukurannya beberapa kali lipat besarnya dari jarum suntik biasa akan dimasukkan ke leher saya. Pasrah, saya memejamkan mata selama dokter melakukan ritual persiapan memasukkan jarumnya. Dokternya juga mengingatkan saya untuk tidak menelan ludah selama dia menyedot cairannya, dan juga tidak boleh mengerakkan leher. Tidak lama kemudian, akhirnya selesai. Dan ternyata tidak sakit karena benjolan di leher saya saat itu lumayan besar. Jadi waktu dimasukkan ke leher saya tidak terkena dagingnya. Tapi tetap saja masih terasa waktu dokternya memasukkan jarumnya.

Dokternya memperlihatkan isi dari cairan yang telah berhasil dikeluarkan. Satu botol penuh jarum suntiknya dan isinya cokelat kehitam-hitaman. Dan leher saya langsung mengecil lagi, tapi masih ada benjolannya. Kata dokternya penyakit saya ini tidak bahaya dan dia juga bilang kalau sama dokter lain saya pasti langsung disuruh operasi. That's right. Itulah yang terjadi. Plus ditakut-takuti oleh dua dokter sebelumnya. Suster yang menangani saya di ruang dr. Agus juga sama dengan yang waktu saya dengan dokter bedah. Setelah saya mau keluar ruangan, si suster bilang gini, "Untung kamu enggak di operasi kemaren." Saya senyum dan mengucapkan terima kasih sama susternya.  Kesimpulan saya adalah dua dokter yang menangani saya waktu itu materialistis dan money oriented. Orang yang seperti itu tidak peduli dengan pasiennya dan hanya mementingkan dirinya sendiri. So, hati-hati ya guys. Kalau sakit harus cari dokter yang tepat.

Tidak cukup hanya sekali sedot. Saya harus bolak-balik check up. Saya dikasih obat yang harus diminum selama 2 bulan. Untuk check up awalnya seminggu sekali, terus dua minggu sekali dan sampai akhirnya sebulan sekali. Setiap kali check up saya di USG dan disedot cairannya selama cairan itu masih ada. Nah, untuk penyedotan kedua, ketiga, dst itu terasa sakitnya. Kadang sampai keluar darah. Semakin kecil benjolannya dan akan semakin sakit waktu disedot.

Enam bulan saya berobat sama dokter Agus dan sampai terakhir kali saya berobat sama dia katanya saya sudah sembuh dan cairan di leher saya sudah tidak ada. Tapi, dia tetap mengingatkan saya untuk terus check up ke dia sebulan sekali.

Karena saya itu bandel (jangan ditiru ya, hehe), saya tidak pernah check up lagi semenjak dokter bilang saya sudah sembuh. Kadang saya merasa benjolan di leher saya itu masih ada walaupun kecil. Tapi sepertinya sih tidak apa-apa. Toh sampai sejauh ini tidak ada keluhan dan saya beraktivitas normal seperti biasa.
Posted by: caecilia
CS.Com Updated at: January 10, 2014
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...