Kelenjar thyroid adalah pembengkakan kelenjar yang berupa benjolan di depan leher, letaknya di antara lobus kanan dan kiri. Biasanya ditandai dengan ikut dalam proses menelan. Jadi, kalo kita menelan, benjolannya akan naik turun. Kelenjar ini menghasilkan hormon thyroid yang berfungsi mengendalikan kecepatan metabolisme (fungsi kimia) tubuh. Adanya benjolan bisa juga karena adanya kanker kelenjar getah bening yang ditandai dengan tidak ikut dalam proses menelan. Biasanya hanya terdapat pada lobus kanan saja atau kiri saja. Dan biasanya dicurigai sebagai kanker ganas. Ciri-cirinya yaitu terdapat pembengkakan atau adanya benjolan disekitar ketiak dan pangkal paha. Tapi tidak semua jenis benjolan adalah kanker ataupun kelenjar thyroid. Bisa saja hanya benjolan biasa yang timbul karena sedang sakit atau panas dalam dan bisa hilang dengan sendirinya. Nah, yang harus di waspadai adalah benjolan yang permanen dan tidak hilang sejak bertahun-tahun. Benjolan di leher bisa juga karena adanya tumor. Tergantung dengan jenis keluhannya.
Saya pernah bermasalah dengan Kelenjar Thyroid. Diagnosis dari dokter waktu itu saya terkena Hyperthyroid. Ceritanya berawal dari ketika saya masih duduk di bangku sekolah awal tahun 2007. Sebenarnya saya tidak pernah memperhatikan leher saya juga, jadi tidak pernah tahu kalau ada benjolan di leher saya.
Waktu itu saya sedang di Gereja menunggu mama jemput selesai misa. Terus ada teman yang lewat dan tiba-tiba berhenti dan berkata seperti ini, "Coba kamu nelen." Dengan heran saya pun mengikuti kemauan teman saya tersebut. Setelah memperhatikan leher saya sejenak, dia mengatakan kalau di leher saya ada benjolannya. Dia menambahkan kalau saya itu harus segera diperiksa. Katanya, anak perempuannya juga pernah ada benjolan di leher dan sudah dioperasi di Jakarta. Bagaikan petir disiang bolong, saya sontak langsung terkejut mendengar pengakuan teman saya tersebut yang serba dadakan. Saya yang beberapa detik yang lalu masih berpikir saya sehat-sehat saja, ternyata saya itu sudah cukup gawat dan harus di operasi? Ya Tuhan. Seumur hidup saya tidak pernah terpikirkan oleh saya kalau saya harus di operasi.
Setibanya di rumah saya langsung ambil cermin dan mulai meneliti leher saya. Setelah saya cermati, memang benar ada benjolan yang tak begitu kasat mata. Dan benjolan itu terlihat jelas ketika saya menelan. Saya langsung down dan pikiran saya mulai tidak karuan. Takut ini takut itu. Tapi ketakutan saya yang sebenarnya adalah harus memberitahu keluarga saya dan tentu saja keluarga saya shock terutama papa. Karena stres, saya sampai sakit. Nafsu makan hilang dan saya mulai demam. Apalagi seluruh anggota keluarga terlihat sedih mendengar kabar kalau ada benjolan di leher saya. Mungkin mereka menduga itu kanker dan saya pun awalnya sempat mengira demikian.
Waktu itu saya sedang di Gereja menunggu mama jemput selesai misa. Terus ada teman yang lewat dan tiba-tiba berhenti dan berkata seperti ini, "Coba kamu nelen." Dengan heran saya pun mengikuti kemauan teman saya tersebut. Setelah memperhatikan leher saya sejenak, dia mengatakan kalau di leher saya ada benjolannya. Dia menambahkan kalau saya itu harus segera diperiksa. Katanya, anak perempuannya juga pernah ada benjolan di leher dan sudah dioperasi di Jakarta. Bagaikan petir disiang bolong, saya sontak langsung terkejut mendengar pengakuan teman saya tersebut yang serba dadakan. Saya yang beberapa detik yang lalu masih berpikir saya sehat-sehat saja, ternyata saya itu sudah cukup gawat dan harus di operasi? Ya Tuhan. Seumur hidup saya tidak pernah terpikirkan oleh saya kalau saya harus di operasi.
Setibanya di rumah saya langsung ambil cermin dan mulai meneliti leher saya. Setelah saya cermati, memang benar ada benjolan yang tak begitu kasat mata. Dan benjolan itu terlihat jelas ketika saya menelan. Saya langsung down dan pikiran saya mulai tidak karuan. Takut ini takut itu. Tapi ketakutan saya yang sebenarnya adalah harus memberitahu keluarga saya dan tentu saja keluarga saya shock terutama papa. Karena stres, saya sampai sakit. Nafsu makan hilang dan saya mulai demam. Apalagi seluruh anggota keluarga terlihat sedih mendengar kabar kalau ada benjolan di leher saya. Mungkin mereka menduga itu kanker dan saya pun awalnya sempat mengira demikian.
Saya dibawa ke dokter spesialis THT. Tapi dokternya sangat menjengkelkan dan berkata seperti ini. "Ini mah cuma kelenjar biasa yang bakal muncul kalo lagi haid. Anak sehat kok dibawa ke dokter." Dokter itu sama sekali tidak memeriksa saya. Dia hanya melihat sekilas dan pegang saya saja tidak.
Akhirnya pulanglah saya ke rumah. Mungkin mama papa sudah lega, tapi saya sama sekali tidak lega dan tidak puas dengan penjelasan dokternya. Karena saya tidak mau membuat mama papa khawatir, saya berusaha melupakan tentang benjolan ini walaupun sebenarnya benjolan itu tidak pernah hilang dan juga tidak ada keluhan apa-apa.
Sampai akhir tahun 2009 (saya sudah setahun tinggal di Bogor), benjolan saya mulai bereaksi. Saya merasakan benjolan saya membengkak saat saya sedang kuliah dan sedang mendengarkan penjelasan dosen di kelas. Saya merasa ada sesuatu yang mengganjal. Waktu jam kuliah selesai, teman saya bilang, "Kok leher lu ada benjolan sih?" Saya langsung panik dan pinjam kaca. Ternyata benar. Benjolan saya 3 tahun yang lalu itu akhirnya membesar. Teman menyuruh saya check up dan keesokan harinya saya meluncur ke Rumah Sakit BMC (Bogor Medical Center) yang katanya RS paling bagus dan paling mahal di Bogor saat itu. Saya daftar ke dokter THT lagi dan masih bingung mau pergi ke dokter apa.
Dokternya bilang kalau benjolan saya itu Kelenjar Thyroid dan harus dioperasi secepatnya. Kaget, bingung, stres semuanya campur aduk jadi satu. Dan menurut saya dokter itu sangat tidak punya hati nurani dengan menakut-nakuti saya. "Enggak ada jalan lain selain operasi. Sebelum makin besar, sebaiknya dioperasi secepatnya." Saat itu juga saya dirujuk ke dokter bedah dan bodohnya saya nurut-nurut saja. Mungkin karena sedang linglung dan tidak bisa berpikir jernih.
Dokter bedahnya hanya menekan leher saja sebentar dan langsung bilang kalau saya harus dioperasi tanpa melakukan usg terlebih dahulu. Dan dia juga mengancam saya kalau saya tidak segera dioperasi, mata saya akan melotot dan mumpung tekanan darah saya masih normal. Kalau sudah melotot nanti matanya sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Begitulah kurang lebih ancaman dokternya. Tanpa meminta persetujuan saya terlebih dahulu, dokter itu langsung membuat berbagai surat laboratoriun untuk rontgen dan lain-lain dan dia minta saya untuk bertanya ke bagian administrasi mengenai biayanya.
Dokter bedahnya hanya menekan leher saja sebentar dan langsung bilang kalau saya harus dioperasi tanpa melakukan usg terlebih dahulu. Dan dia juga mengancam saya kalau saya tidak segera dioperasi, mata saya akan melotot dan mumpung tekanan darah saya masih normal. Kalau sudah melotot nanti matanya sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Begitulah kurang lebih ancaman dokternya. Tanpa meminta persetujuan saya terlebih dahulu, dokter itu langsung membuat berbagai surat laboratoriun untuk rontgen dan lain-lain dan dia minta saya untuk bertanya ke bagian administrasi mengenai biayanya.
Karena operasi saya itu termasuk ke dalam operasi besar khusus, biayanya lebih wow. Untuk tahun 2009, biaya kelas 3 adalah 11 juta sudah termasuk obat dan rawat inap 5 hari. Kalau ada penambahan obat dan rawat inap akan tambah lagi biayanya. Waktu itu saya hanya sekedar mau tahu saja dan saya juga belum mengambil keputusan untuk dioperasi.
Nah, tibalah saatnya memberi tahu keluarga. Ya kali ini lebih shock pasti. Soalnya benjolan yang sudah terlupakan akhirnya menampakkan diri lagi. Papa yang paling shock apalagi kalau tahu saya harus dioperasi.
Papa mau saya di rontgen biar jelas itu benjolannya apa. Mungkin papa mengira itu kanker kali ya. Nah, buat menenangkan papa, saya rontgen berbekal surat rontgen dari dokter bedah tadi. Ternyata apa yang terjadi? Itu rontgennya buat jantung dong persiapan buat operasi. Itu dokternya geblek masa dia tidak menjelaskan kepada saya kalau itu rontgen jantung buat persiapan operasi. Padahal saya sama sekali belum setuju akan tindakan operasi. Saya protes di ruangan radiologi kenapa yang di rontgen itu jantung bukan leher. Katanya kalau saya mau rontgen di leher, saya harus minta surat pengantar lagi dari dokternya. Akhirnya saya pulang dan tidak jadi rontgen leher dan rontgen jantung saya pun tidak saya bayar karena buat apa bayar hasil rontgen yang saya tidak butuhkan.
Seminggu kemudian saya mendapat rekomendasi dari teman seorang dokter internist. Di rumah sakit yang sama, namanya dr. Agus Taolin, Sp. D (Spesialis Penyakit Dalam).
Beberapa hari kemudian, saya pergi konsul sama dokternya. Dan akhirnya setelah pergi ke 3 dokter spesialis, baru dia yang melakukan USG di leher. Dia bilang ada cairan kista di leher dan harus disedot menggunakan jarum. Shock? IYA. Bayangkan saja jarum suntik yang ukurannya beberapa kali lipat besarnya dari jarum suntik biasa akan dimasukkan ke leher saya. Pasrah, saya memejamkan mata selama dokter melakukan ritual persiapan memasukkan jarumnya. Dokternya juga mengingatkan saya untuk tidak menelan ludah selama dia menyedot cairannya, dan juga tidak boleh mengerakkan leher. Tidak lama kemudian, akhirnya selesai. Dan ternyata tidak sakit karena benjolan di leher saya saat itu lumayan besar. Jadi waktu dimasukkan ke leher saya tidak terkena dagingnya. Tapi tetap saja masih terasa waktu dokternya memasukkan jarumnya.
Dokternya memperlihatkan isi dari cairan yang telah berhasil dikeluarkan. Satu botol penuh jarum suntiknya dan isinya cokelat kehitam-hitaman. Dan leher saya langsung mengecil lagi, tapi masih ada benjolannya. Kata dokternya penyakit saya ini tidak bahaya dan dia juga bilang kalau sama dokter lain saya pasti langsung disuruh operasi. That's right. Itulah yang terjadi. Plus ditakut-takuti oleh dua dokter sebelumnya. Suster yang menangani saya di ruang dr. Agus juga sama dengan yang waktu saya dengan dokter bedah. Setelah saya mau keluar ruangan, si suster bilang gini, "Untung kamu enggak di operasi kemaren." Saya senyum dan mengucapkan terima kasih sama susternya. Kesimpulan saya adalah dua dokter yang menangani saya waktu itu materialistis dan money oriented. Orang yang seperti itu tidak peduli dengan pasiennya dan hanya mementingkan dirinya sendiri. So, hati-hati ya guys. Kalau sakit harus cari dokter yang tepat.
Tidak cukup hanya sekali sedot. Saya harus bolak-balik check up. Saya dikasih obat yang harus diminum selama 2 bulan. Untuk check up awalnya seminggu sekali, terus dua minggu sekali dan sampai akhirnya sebulan sekali. Setiap kali check up saya di USG dan disedot cairannya selama cairan itu masih ada. Nah, untuk penyedotan kedua, ketiga, dst itu terasa sakitnya. Kadang sampai keluar darah. Semakin kecil benjolannya dan akan semakin sakit waktu disedot.
Enam bulan saya berobat sama dokter Agus dan sampai terakhir kali saya berobat sama dia katanya saya sudah sembuh dan cairan di leher saya sudah tidak ada. Tapi, dia tetap mengingatkan saya untuk terus check up ke dia sebulan sekali.
Karena saya itu bandel (jangan ditiru ya, hehe), saya tidak pernah check up lagi semenjak dokter bilang saya sudah sembuh. Kadang saya merasa benjolan di leher saya itu masih ada walaupun kecil. Tapi sepertinya sih tidak apa-apa. Toh sampai sejauh ini tidak ada keluhan dan saya beraktivitas normal seperti biasa.